Catatan dari Annual 2nd international conference “The Development of Sharia Economics” , Fakultas Ekonomi UIN Malang, 4/12.

Liberalisasi berbagai kebijakan ekonomi terus berkembang dan tumbuh tak terhalang. Hampir menyentuh berbagai level perilaku ekonomi, baik individual maupun komunal/publik.

Pada level individu, perilaku ekonomi seperti mementingkan diri-sendiri dan menghalalkan segala cara dalam memperoleh, mengembangkan, dan membelanjakan harta, sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Prinsip keblinger seperti “yang haram saja susah, apalagi yang halal” jamak mewarnai berbagai aktifitas atau perilaku ekonomi masyarakat.

Pun dalam ekonomi komunal atau publik. Berbagai bentuk kerjasama pengembangan harta yang dulu cukup akrab terdengar di telinga seperti, inan, wujud, mudharabah, dan abdan, kini cukup asing dan sulit ditemukan dalam AD/ART pendirian sebuah perusahaan (corporate). Yang lebih parah lagi, liberalisasi ekonomi mulai diterapkan dengan pengawalan kebijakan negara. Nggremet nanging mesti, gaverment state semakin berubah menjadi corporate state, pengelolaan kekayaan-harta negara menggunakan prinsip untung-rugi sebagaimana pengelolaan sebuah perusahaan. Meski telah banyak bukti, kesejahteraan tidak akan terwujud melalui ekonomi pasar bebas.

Liberalisasi ekonomi, dengan pasar bebas, telah melembaga dalam sebuah sistem sangat sulit terbendung kecuali dilawan dengan sistem, sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam, akan terkait dengan berbagai kebijakan penguasa/negara, keuangan Islam, bisnis syariah, transaksi, pelaku ekonomi/pengusaha Islam, dan sistem Islam. Menurut Sobri, agar ekonomi Islam bisa berjalan dengan baik, dibutuhkan minimal tiga komponen dasar yaitu legitimasi, ketertiban, dan kesejahteraan (Prof. Mohd Sobri Minai dari Universitas Utara Malaysia, dengan materiIslamic Economy: Nurturing Moslem Entrepreneurs).

Dorongan ideologis atau ketaqwaan menjadi modal sangat besar dalam pelaksanaan ekonomi Islam/syariah. Bagaimana mengusahakan, membelanjakan, dan memakan makanan yang halal adalah contoh kecil perilaku ekonomi Islam. Pada sektor industri, sukuk dijadikan sebagai alternatif obligasi dalam instrumen pembiayaan. Sebab, dianggap bebas dari unsur terlarang seperti bebas bunga, adanya unsur perjudian, adanya pembagian resiko, menekan tingkat ekstrim ketidakpastian, serta menghormati asas-asas pemeliharan perjanjian.

Di Malaysia, penerbitan sukuk semakin meningkat.   Sejalan dengan besarnya pembiayaan pada infrastruktur/industri dan pergeseran pinjaman utang dari bank ke pasar saham/penerbitan obligasi. Dan, sukuk dianggap mampu menjembatani gap antara keuangan konvensional dengan keuangan syariah, kata Yusnidah. (Prof. Yusnidah Ibrahim dari UUM dengan materi Sukuk & The Corporate Finance Perspective).

Inilah tantangan dunia akademisi untuk mengembangkan konsep ekonomi syariah, sehingga ada kesesuaian tuntutan secara ideologi dan kemudahan operasional dalam mewujudkan kesejahteraan.

“Dengan Seminar internasional ini diharapkan dapat menambah wawasan internasional tentang perkembangan ekonomi syariah, sehingga mengetahui implementasi ekonomi syariah di negara lain. Seminar ini sebagai bentuk dari sosialisasi ekonomi Syariah yang menjadi leading sector dari fakultas Ekonomi, yang diadakan tiap tahun” kata Wakil Dekan Bidang Akademik, Dr. Hj. Ilfi Nurdiana. (us).