Liberalisai ekonomi secara masif terus bergulir. Meski dipaksakan, Indonesia harus mengikuti deklarasi kesepakatan bersama atas AEC Blueprint pada Nopember 2007 di Singapura. Kesepakatannya adalah menjaga stabilitas politik, keamanan, meningkatkan daya saing pada pasar ekonomi, mengurangi kemiskinan, serta meningkatkan standar hidup layak. Kesepakatan ini disebut sebagai Economic Community ASEAN yang akan berjalan mulai Mei 2015.

Kesepakatan tersebut telah membuka pintu pandora kebebasan ekonomi, yakni dalam hal kebebasan memiliki, kebebasan berusaha, dan kebebasan mengembangkan hartanya. Sekat batas negara sudah tidak memiliki makna. Arus barang, jasa (tenaga kerja), dan modal (investasi) bebas hambatan, bergerak keluar-masuk di antara negara ASEAN. Babak baru poros ekonomi liberal akan mewarnai berbagai aktifitas ekonomi negara, mulai dari jalan pedesaan hingga trotoar perkotaan.

Jangan heran, mulai Mei 2015,  penjual gorengan lokal harus bersaing dengan penjual gorengan dari Malaysia, Thailand, Singapura, China, dan negara-negara lainnya. Penjual bensin, Pertamina, juga harus bersaing dengan Chevron, Medco, Petrochina, Total E&P, Conoco Philip untuk merebut pasar yang sama. Bagaimana tidak? Semua jenis tarif bea masuk dihapuskan, harga mengacu pada standar internasional, semu bentuk subsidi ditiadakan. Bukan hanya pada aspek ekonomi, pada aspek sosio-budaya, dan politik juga akan penuh warna dengan aroma yang sama, “kebebasan”.

Usaha Micro Kecil Menengah (UMKM) tentu yang akan terkena imbas pertama kalinya. Meski disinyalir, UMKM paling tahan terhadap goncangan krisis dan penyumbang terbesar sektor domestik pada PDB.  

Inilah pentingnya memobilisasi sumberdaya pada berbagai kelembagaan atau instansi yang ada. Seperti Perguruan Tinggi (PT), perbankan syariah, dan intansi pemerintah. PT harus memiliki peran mengarahkan dan memfasilitasi terbentuknya kompetisi, dan menyiapkan sumberdaya manusia dengan kompetensi dan karakteristiknya.

Perbankan syariah juga memberikan prioritas pembiayaan pada UMKM tanpa bea mahal. Menata sumberdaya manusia dengan handal, memiliki ragam produk, dan sistem layanan yang terpercaya. Bersaing dengan bank asing modal besar tentu menjadi pertimbangan. Sedangkan intansi pemerintah, menjadi inisiasi-mediasi-fasilitasi antara UMKM, PT, dan aspek pembiayaan.

Inilah yang membuat “galau” para pemateri, dalam “Seminar Nasional Pengembangan Ekonomi Syariah dan UMKM dalam Menghadapi Asean Economic Community (AEC)” di gedung Rektorat UIN Malang Selasa kemarin (2/12). Hadir sebagai pembicara Prof.Dr. Muhammad Jakfar (Guru Besar Ekonomi UIN Malang), Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, PhD (Guru Besar Unair Surabaya), Drs. Arrison Hendry (Ketua Induk Koperasi Syariah Indonesia),dan Bupati Pasuruan. (us).